Langkah Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang menghubungi mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjelang KTT G7 2025 memicu diskusi hangat di kalangan pengamat geopolitik internasional.
Langkah Kontroversial Menjelang G7
Menjelang forum G7 yang digelar di Italia, Prabowo Subianto lebih memilih melakukan pembicaraan bilateral via telepon dengan Donald Trump yang kini tengah kembali mencalonkan diri di Pilpres AS. Banyak yang menilai langkah ini sebagai sinyal politik unik yang menggambarkan pendekatan baru diplomasi Indonesia.
Menurut sumber diplomatik, pembicaraan Prabowo dengan Trump membahas peluang kerja sama perdagangan bilateral, stabilitas kawasan Asia-Pasifik, serta isu pertahanan.
Mengapa Prabowo Absen di G7?
Keputusan Indonesia tidak hadir di KTT G7 dinilai sebagai strategi untuk menjaga posisi netral di tengah rivalitas global antara blok Barat dan poros Asia yang dipimpin Tiongkok.
“Dengan absennya di G7, Indonesia ingin mempertegas posisi non-blok namun tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak,” ungkap pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia.
Respon Global Beragam
Media internasional seperti The Australian dan Reuters menyoroti manuver ini sebagai upaya Indonesia menjaga keseimbangan diplomatik:
- The Australian: “Prabowo calls Trump, snubs G7”
- Reuters: “Indonesia maneuvers amid growing US-China tensions”
Beberapa negara G7 menyayangkan ketidakhadiran Indonesia yang sebelumnya digadang-gadang menjadi partner strategis.
Dampak Terhadap Hubungan Indonesia-AS
Hubungan Indonesia-AS pasca pembicaraan Prabowo-Trump diprediksi akan lebih menghangat, khususnya dalam sektor:
- Perdagangan minyak sawit & nikel
- Kerjasama militer
- Isu keamanan Laut Natuna
Penguatan ini dipandang penting bagi Indonesia di tengah isu global terkait stabilitas supply chain mineral kritis dan penguatan industri pertahanan dalam negeri.
Analis Politik: “Diplomasi Pragmatis”
Pengamat politik menilai, kebijakan Prabowo lebih condong pada pragmatisme dibandingkan politik ideologi:
“Prabowo membaca dengan cermat pergeseran geopolitik 2025. Aliansi cair yang fleksibel lebih menguntungkan bagi Indonesia,” ujar pengamat geopolitik CSIS Indonesia.
Tantangan ke Depan: Netralitas atau Risiko Baru?
Meski langkah ini dianggap cerdas oleh sebagian pihak, tidak sedikit yang menilai posisi netral juga mengandung risiko:
- Potensi tekanan dari Uni Eropa atas isu HAM
- Risiko konflik Laut China Selatan
- Dilema perjanjian perdagangan bebas
Prabowo Subianto tampak mulai membentuk narasi baru kebijakan luar negeri Indonesia yang adaptif, realistis, namun tetap mengedepankan kepentingan nasional.