DPR Eksekusi blueprint reformasi Polri mandek

DPR: Eksekusi blueprint reformasi Polri mandek

Isu akuntabilitas dan profesionalisme kepolisian kembali mencuat setelah DPR menyatakan blueprint reformasi Polri sejatinya telah disusun, tetapi belum dieksekusi secara konsisten. Pernyataan itu membuka kembali perdebatan lama: bagaimana mendorong perubahan kultur dan tata kelola tanpa menurunkan kesiapan operasional di lapangan. Pemerintah diminta memberi mandat yang jelas, tenggat waktu, serta indikator terukur agar publik dapat mengecek kemajuan secara berkala.

Di sisi lain, Polri menghadapi beban tugas yang kian kompleks—dari penegakan hukum siber, pengamanan pemilu, hingga respons bencana. Karena itu, gagasan pembentukan komisi atau tim reformasi yang melibatkan unsur independen, akademisi, dan masyarakat sipil menguat. Transparansi menjadi kata kunci: naskah cetak biru perlu dibuka ringkasannya, bersama peta jalan implementasi dan mekanisme koreksi bila target tak tercapai. Tanpa disiplin eksekusi, momentum perbaikan berisiko kembali hilang dan kepercayaan publik sulit dipulihkan.

Isi cetak biru dan sasaran perubahan

Pokok pembenahan yang kerap disebut mencakup pemangkasan birokrasi, penguatan rekrutmen dan promosi berbasis merit, serta standardisasi layanan aduan publik yang mudah dilacak. Pembaruan kurikulum pendidikan dan pelatihan diarahkan pada etika profesi, manajemen konflik, dan keterampilan penyidikan yang modern, termasuk pemanfaatan forensik digital. Pada tingkat organisasi, audit proses internal diperlukan untuk menutup celah konflik kepentingan, dari penanganan perkara berprofil tinggi hingga pengadaan peralatan.

Sasaran jangka menengah meliputi peningkatan kualitas penyidikan (tingkat kelengkapan berkas), konsistensi sanksi disiplin, dan pemangkasan waktu respons layanan. Untuk menjamin keberlanjutan, pemerintah daerah dan lembaga pengawas eksternal perlu dilibatkan dalam forum evaluasi rutin. Di sini, satu rujukan kebijakan diperlukan agar unit di pusat dan daerah selaras menjalankan prioritas. Publik menunggu ringkasan resmi blueprint reformasi Polri yang memuat peta kebijakan, target tahunan, serta tolok ukur kinerja yang sederhana namun tegas—misalnya kepastian layanan aduan dalam 1×24 jam dan publikasi statistik penindakan disiplin per triwulan.

Baca juga : Kontroversi Podcast Sara Berujung Mundur dari DPR

Hambatan utama biasanya muncul pada resistensi internal, keterbatasan anggaran, dan tumpang tindih regulasi. Karena itu, mandat politik harus kuat: keputusan presiden dapat menetapkan komisi independen dengan akses audit, kewenangan mengusulkan revisi aturan, serta tugas mengawal implementasi lintas satuan kerja. Di tingkat anggaran, skema pembiayaan multi-tahun memungkinkan prioritas investasi pada pendidikan, teknologi pendukung penyidikan, dan modernisasi layanan publik.

Pengawasan butuh arsitektur yang bertingkat. Ombudsman, Kompolnas, dan DPR berperan pada pengendalian eksternal; sementara Inspektorat dan pengawas fungsional memastikan disiplin internal. Semua kanal harus terhubung pada dasbor keterbukaan data agar pelanggaran, progres investigasi, serta tindak lanjut sanksi dapat dipantau publik. Selain itu, pelibatan organisasi masyarakat sipil memberi umpan balik independen atas kualitas layanan dan etik. Pada akhirnya, keseriusan negara diukur dari konsistensi menjalankan cetak biru, bukan sekadar merilis dokumen. Jika agenda eksekusi blueprint reformasi Polri dikawal dengan target jelas, publikasi rutin, dan koreksi otomatis, maka kepercayaan dapat dipulihkan melalui hasil yang nyata—bukan janji yang berulang.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *