Deklarasi New York PBB menarik perhatian global setelah Majelis Umum mengadopsinya sebagai dorongan menuju gencatan senjata permanen di Gaza dan jalur politik solusi dua negara. Dokumen ini merumuskan langkah bertahap: penghentian kekerasan, pembebasan sandera, koridor kemanusiaan yang aman, hingga restorasi layanan publik dasar. Meski tidak mengikat secara hukum, deklarasi diposisikan sebagai peta jalan diplomatik bagi negara anggota untuk menyelaraskan tekanan politik dan dukungan kemanusiaan.
Proses pemungutan suara mencatat mayoritas dukungan. Deklarasi disponsori sejumlah negara Eropa dan Timur Tengah dengan pesan utama: hentikan spiral kekerasan dan buka kembali kanal negosiasi substantif. Penolak menilai sebagian rumusan belum memadai, terutama menyangkut akuntabilitas dan jaminan keamanan. Namun bobot politik Deklarasi New York PBB dianggap cukup untuk menggeser pembicaraan dari arena militer ke meja perundingan, seraya memberi dasar bagi koordinasi bantuan dan pemulihan layanan sipil.
Isi Pokok dan Tujuan
Substansi deklarasi memadatkan prioritas kemanusiaan dan jalur transisi politik. Pertama, gencatan senjata permanen yang mencakup penghentian serangan ke wilayah sipil, penghormatan hukum humaniter, serta akses penuh bagi badan bantuan. Kedua, pembebasan seluruh sandera dan mekanisme pertukaran tahanan dengan verifikasi independen. Ketiga, koridor kemanusiaan yang diawasi lembaga PBB agar bantuan medis, pangan, air, dan listrik tersalurkan tepat sasaran. Keempat, penarikan militer bertahap untuk menurunkan eskalasi dan mencegah siklus pembalasan baru. Di atas semuanya, Deklarasi New York PBB menegaskan kembali prinsip dua negara sebagai horizon politik yang harus disiapkan dengan jadwal realistis.
Tahap tata kelola menempatkan Gaza sebagai bagian integral Negara Palestina yang dipersatukan dengan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina yang direformasi. Opsi misi stabilisasi PBB dibuka untuk dukungan keamanan, sementara konferensi donor diproyeksikan membiayai pemulihan infrastruktur dan layanan publik. Pengawasan berkala—indikator waktu tanggap bantuan, pemulihan pendidikan-kesehatan, serta keamanan warga—dipakai untuk menilai kemajuan di lapangan. Kejelasan metrik diharap mencegah jeda komitmen dan memastikan akuntabilitas semua pihak.
Baca juga : PBB Minta Indonesia Hormati Hak Warga Saat Demo
Peta politik internasional menunjukkan mayoritas negara menyokong deklarasi, menilai ia memberi kerangka minimal yang dapat menyatukan langkah kemanusiaan dan diplomatik. Dukungan luas dari negara-negara di Eropa, Asia, Afrika, dan Timur Tengah dimaknai sebagai mandat moral untuk menekan para pihak mematuhi hukum perang dan membuka kembali kanal perundingan substantif. Dalam kacamata pendukung, Deklarasi New York PBB menawarkan kompromi yang cukup seimbang: akhiri kekerasan, lindungi warga sipil, dan bangun rute menuju perundingan final status.
Kritik muncul dari kubu yang menilai efektivitas implementasi masih lemah tanpa jaminan keamanan yang konkret, detail penegakan sanksi, dan kejelasan aktor pelaksana di lapangan. Kekhawatiran lain mencakup potensi kebuntuan politik domestik, risiko pelanggaran gencatan senjata, hingga tarik-uluran soal status Yerusalem dan permukiman. Karena itu, keberhasilan deklarasi akan sangat bergantung pada kemauan politik, pengawasan independen, dan dukungan pendanaan jangka panjang. Tanpa tiga prasyarat tersebut, Deklarasi New York PBB berisiko menjadi sekadar referensi normatif, bukan motor perubahan nyata bagi warga yang menanti akhir dari konflik berkepanjangan.