Autopsi Ulang Juliana Marins di Brasil Cocok dengan Hasil Bali
Kasus meninggalnya pendaki asal Brasil, Juliana De Souza Pereira Marins, di Gunung Rinjani pada 21 Juni 2025, menyita perhatian publik internasional. Proses autopsi ulang Juliana Marins yang dilakukan di Brasil mengungkap fakta bahwa hasil pemeriksaan di negaranya ternyata konsisten dengan autopsi pertama yang dilakukan di Bali. Kedua hasil autopsi menyebutkan Juliana meninggal akibat trauma parah setelah jatuh dari ketinggian.
Tim forensik di Brasil memastikan bahwa waktu kematian Juliana terjadi antara 10 hingga 20 menit setelah ia mengalami jatuh fatal. Temuan ini mendukung kesimpulan Dr. Ida Bagus Putu Alit, dokter forensik Bali, yang sebelumnya menyatakan waktu kematian serupa. Meskipun demikian, keluarga korban tetap merasa perlu melakukan autopsi ulang Juliana Marins karena muncul keraguan atas penanganan evakuasi saat kejadian.
Dokter forensik Brasil menjelaskan bahwa Juliana sempat mengalami periode agonal, yakni fase kritis antara trauma dan kematian. Meskipun kondisinya sangat buruk, korban masih hidup beberapa menit sebelum akhirnya meninggal karena luka fatal. Fakta ini mengundang simpati luas, mengingat Juliana dikenal sebagai pendaki berpengalaman.
Autopsi Ulang Juliana Marins Picu Pertanyaan soal Evakuasi
Hasil autopsi ulang Juliana Marins tidak hanya mengonfirmasi penyebab kematian, tetapi juga menimbulkan perdebatan mengenai proses penyelamatan yang berlangsung di Gunung Rinjani. Pihak keluarga menduga adanya keterlambatan evakuasi yang mungkin memengaruhi peluang selamat korban. Sebab, proses evakuasi dilaporkan memakan waktu hingga hampir 90 jam.
Walaupun demikian, pihak Basarnas NTB menegaskan bahwa seluruh prosedur penyelamatan sudah dijalankan sesuai standar. Otoritas Indonesia menyatakan medan di Rinjani sangat sulit dijangkau, terutama pada ketinggian dan kondisi cuaca buruk. Hal inilah yang menjadi tantangan besar saat mengevakuasi korban. Namun, keluarga korban tetap mendesak penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada unsur kelalaian dalam penanganan kasus ini.
Autopsi ulang Juliana Marins juga menjadi contoh bagaimana hak keluarga korban diakui secara hukum. Menurut dokter forensik Bali, autopsi ulang merupakan hak keluarga dan bukan prosedur yang dianggap tidak wajar, khususnya dalam kasus-kasus yang menimbulkan keraguan atau dugaan kelalaian.
Implikasi Hasil Autopsi Ulang Juliana Marins
Kasus autopsi ulang Juliana Marins menjadi sorotan media internasional karena bukan hanya soal penyebab kematian, tetapi juga karena potensi konsekuensi diplomatik yang mungkin timbul. Pemerintah Brasil tampak serius mendalami kasus ini, bahkan membuka peluang mengajukan investigasi ke Komisi HAM (Hak Asasi Manusia) Inter-Amerika jika ditemukan bukti kelalaian dalam penanganan evakuasi.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan menghormati hasil autopsi ulang Juliana Marins. Kemenlu berkomitmen memberikan kerja sama penuh jika ada permintaan informasi lanjutan. Namun, hingga saat ini, tidak ada indikasi bahwa akan ada gugatan resmi terhadap Indonesia.
Baca juga : Dokter Autopsi Perkirakan Juliana Marins Tewas 20 Menit Setelah Jatuh
Di sisi lain, nama Juliana Marins kini semakin dikenal luas di Brasil. Masyarakat di sana memberikan penghormatan dengan memasang plakat memorial di beberapa titik yang menjadi tempat Juliana dulu aktif berkegiatan sosial. Tragedi ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, tetapi juga mengingatkan dunia akan risiko tinggi dalam aktivitas pendakian gunung.
Melalui autopsi ulang Juliana Marins, banyak pihak berharap ke depannya prosedur penyelamatan di lokasi ekstrem seperti Gunung Rinjani dapat lebih ditingkatkan. Semua demi mencegah terulangnya tragedi serupa yang merenggut nyawa pendaki hebat seperti Juliana.