Dugaan Ijazah Palsu yang menyeret hakim Mahkamah Konstitusi Arsul Sani memicu perhatian publik setelah laporan resmi diajukan ke Bareskrim Polri oleh kelompok masyarakat pemerhati konstitusi. Mereka mempertanyakan legalitas ijazah doktoral yang digunakan Arsul Sani sebagai salah satu syarat pengangkatan hakim MK. Kasus ini sontak menambah daftar sorotan yang sedang menerpa lembaga peradilan konstitusi, terutama menyangkut integritas dan transparansi rekam jejak hakim.
Dalam perkembangannya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyebut telah mendalami laporan tersebut selama hampir satu bulan. Pihak MKMK menegaskan bahwa proses pengkajian perlu dilakukan secara hati-hati demi menjaga kehormatan lembaga dan para pihak yang terlibat. Namun, berkembangnya isu Dugaan Ijazah Palsu tetap menimbulkan tekanan publik agar MK memberikan penjelasan lebih terbuka terkait keaslian dokumen yang digunakan Arsul Sani. Belum adanya pernyataan resmi dari MK menambah ruang spekulasi mengenai sejauh mana bukti awal dikantongi pihak pelapor.
Pemeriksaan Bareskrim dan Respons MKMK
Laporan terkait Dugaan Ijazah Palsu diterima Bareskrim untuk diverifikasi lebih lanjut. Dalam mekanisme hukum, polisi harus memastikan apakah dokumen yang dilampirkan pelapor memenuhi unsur pidana sebelum masuk tahap penyidikan. Kelompok pelapor menilai ada beberapa ketidaksesuaian administratif pada ijazah doktoral yang diklaim milik Arsul Sani, namun detailnya belum dibuka ke publik. Di sisi lain, aparat berjanji akan menangani laporan ini secara profesional tanpa intervensi pihak mana pun.
MKMK sebagai lembaga etik internal MK turut mengkaji aspek kode etik dan perilaku hakim. Mereka menyoroti bahwa Dugaan Ijazah Palsu, bila terbukti, dapat mengguncang kredibilitas fit and proper test yang dilakukan DPR saat memilih Arsul Sani sebagai hakim MK. MKMK meminta masyarakat menunggu hasil proses internal demi menghindari kesimpulan prematur. Pemeriksaannya mencakup asal perguruan tinggi, rekam administrasi kelulusan, serta legalitas penerbitan ijazah. Dengan ruang lingkup seluas itu, MKMK menilai proses verifikasi harus dilakukan teliti agar keputusan final tidak menimbulkan polemik baru.
Baca juga : Jokowi Minta Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Ditunda
Kisruh Dugaan Ijazah Palsu dinilai dapat berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap institusi Mahkamah Konstitusi yang memegang peran vital dalam menafsirkan UUD 1945. Publik menuntut transparansi lebih besar karena hakim MK dituntut memiliki integritas tertinggi, termasuk dalam hal rekam pendidikan. Jika proses verifikasi dinilai tertutup, risiko menurunnya kepercayaan publik terhadap putusan MK menjadi semakin besar. Oleh sebab itu, sejumlah pengamat hukum mendorong MK memberikan penjelasan periodic selama proses etik dan investigasi berlangsung.
Selain dampak kelembagaan, kasus ini juga membawa konsekuensi politik karena Arsul Sani pernah aktif di partai politik sebelum menjadi hakim MK. Dugaan Ijazah Palsu berpotensi dijadikan bahan serangan politik, meskipun status hukumnya masih dalam tahap pemeriksaan awal. Pemerintah dan DPR diminta memperketat verifikasi ijazah dalam proses rekrutmen pejabat publik untuk mencegah masalah serupa terjadi di masa depan. Jika kasus ini diselesaikan secara transparan, publik berharap kejadian ini dapat menjadi momentum memperbaiki prosedur uji kelayakan dan kepatutan dalam memilih hakim konstitusi.


