Insiden yang terjadi di sebuah Madrasah Diniyah (madin) di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, memicu perhatian publik. Seorang guru madrasah berinisial AZ, berusia sekitar 50 tahun, diketahui menampar seorang murid dalam kondisi emosi ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Akibat tindakannya tersebut, AZ kemudian dijatuhi sanksi berupa denda sebesar Rp25 juta oleh orang tua murid. Uang tersebut dibayarkan sebagai bentuk ganti rugi moral dan menjadi syarat pencabutan laporan pidana yang sempat diajukan ke pihak kepolisian.
Kronologi kejadian bermula ketika AZ mengajar di kelas dan salah satu muridnya diduga melakukan tindakan yang memicu kekesalan. Murid tersebut dilaporkan melempar sebuah benda ke arah depan kelas, membuat sang guru hilang kendali. Dalam kondisi emosi, AZ kemudian menampar murid tersebut di hadapan teman-teman lainnya. Kejadian ini sontak membuat orang tua murid merasa keberatan dan melaporkan guru tersebut ke polisi atas tuduhan kekerasan terhadap anak.
Namun, proses hukum tidak berjalan hingga pengadilan. Setelah beberapa hari sejak pelaporan, keluarga murid dan pihak guru melakukan mediasi yang disaksikan oleh tokoh masyarakat dan aparat setempat. Dalam mediasi itu, disepakati bahwa guru madrasah didenda Rp25 juta dan pihak orang tua setuju untuk mencabut laporan pidananya. Uang tersebut kemudian dibayarkan secara langsung, dan surat kesepakatan bermeterai ditandatangani oleh kedua belah pihak sebagai bentuk perdamaian.
Reaksi Masyarakat dan Implikasi Etika Pendidikan
Kabar bahwa guru madrasah didenda Rp25 juta setelah menampar murid memicu respons beragam dari masyarakat. Banyak yang menyayangkan tindakan sang guru karena dianggap tidak pantas dilakukan di lingkungan pendidikan. Di sisi lain, sebagian masyarakat menilai penyelesaian damai seperti ini jauh lebih bijak dibandingkan membiarkan kasus terus berlanjut ke proses hukum formal yang melelahkan dan dapat menimbulkan dampak psikologis berkepanjangan bagi anak.
Pihak madrasah tempat AZ mengajar menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini dan berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap metode pengajaran serta kontrol emosi para tenaga pendidik. Lembaga tersebut juga berencana untuk mengadakan pelatihan khusus tentang pengelolaan konflik dan manajemen emosi bagi para guru madin, agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.
Kasus ini membuka diskusi luas mengenai pentingnya etika dan standar profesional dalam dunia pendidikan, terutama di lingkungan keagamaan seperti madrasah diniyah. Meski telah ada penyelesaian secara damai, para pengamat menilai bahwa perlu ada intervensi kebijakan yang lebih sistemik dari pemerintah, khususnya dari Kementerian Agama, agar lembaga pendidikan memiliki protokol yang jelas dalam menangani kekerasan ringan di sekolah.
Baca juga : Kebakaran Muara Baru Jakut, Dua Warga Tewas Terjebak Api
Pakar hukum pidana dari Universitas Diponegoro menyatakan bahwa penyelesaian dengan denda sah-sah saja dilakukan selama ada kesepakatan kedua pihak, namun tetap diperlukan pencatatan resmi agar dapat digunakan sebagai acuan di masa depan jika terjadi pelanggaran serupa. Ia menambahkan bahwa tindakan seperti ini bisa menjadi bentuk edukasi publik tentang tanggung jawab sosial guru terhadap anak didiknya.
Sementara itu, pihak keluarga murid yang sempat melaporkan AZ menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dendam pribadi, namun menginginkan ada pertanggungjawaban atas tindakan kekerasan yang sempat terjadi. Setelah menerima permintaan maaf dan denda sesuai kesepakatan, mereka memilih untuk mencabut laporan sebagai bagian dari perdamaian.
Kejadian guru madrasah didenda Rp25 juta ini menjadi pengingat bahwa tindakan kekerasan di ruang kelas, sekecil apapun, dapat berdampak besar secara hukum dan sosial. Dunia pendidikan dituntut untuk lebih berhati-hati, dan pendekatan berbasis dialog serta kontrol emosi perlu menjadi bagian penting dalam pelatihan guru, baik di madrasah maupun di lembaga pendidikan umum.