Kasus korupsi yang menjerat eks wali kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita, akhirnya mencapai putusan pengadilan. Dalam sidang Tipikor Semarang, hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara bagi Hevearita serta denda Rp300 juta. Sementara itu, suaminya, Alwin Basri, divonis lebih berat yaitu 7 tahun penjara dengan denda serupa dan kewajiban membayar uang pengganti hingga Rp4 miliar.
Hakim menyatakan keduanya terbukti melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait pengadaan barang dan jasa. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta hukuman lebih berat. Meski begitu, keputusan pengadilan tetap menjadi pukulan besar bagi reputasi eks wali kota Semarang yang pernah memimpin kota tersebut.
Kasus ini juga menjadi perhatian luas karena melibatkan pasangan pejabat publik, sekaligus memperlihatkan tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di level daerah.
Detail Vonis dan Pertimbangan Hakim
Dalam persidangan, majelis hakim memaparkan alasan yang memberatkan dan meringankan. Untuk eks wali kota Semarang, hukuman 5 tahun dijatuhkan dengan tambahan kewajiban membayar uang pengganti Rp683 juta. Jika tidak dibayar, maka ditambah kurungan 6 bulan. Suaminya, selain hukuman 7 tahun, juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp4 miliar atau ditambah pidana 1 tahun penjara.
Pertimbangan memberatkan adalah tindakan keduanya dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Sementara hal meringankan, terdakwa dinilai sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa menimbulkan diskusi publik. Banyak pihak menilai hukuman seharusnya lebih berat mengingat posisi strategis eks wali kota Semarang yang memiliki tanggung jawab moral besar terhadap masyarakat. Meski demikian, pengadilan tetap menegaskan bahwa keputusan diambil berdasarkan bukti serta pertimbangan hukum yang objektif.
Putusan terhadap eks wali kota Semarang langsung menuai reaksi dari berbagai pihak. Sebagian masyarakat menilai hukuman ini sudah cukup menjadi pelajaran penting, namun tidak sedikit yang menilai hukuman terlalu ringan. Hal ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu korupsi di kalangan pejabat publik yang dipercaya mengelola anggaran negara.
Baca juga : Irvian Sultan diduga terima Rp69 miliar dalam kasus K3
Pihak kuasa hukum terdakwa menyatakan akan mempelajari putusan terlebih dahulu sebelum memutuskan banding. Mereka menilai masih ada celah hukum yang bisa dipertimbangkan, terutama terkait pemisahan antara gratifikasi dan suap yang menjadi poin penting dalam kasus ini.
Bagi publik, keputusan ini diharapkan bisa menjadi preseden untuk memperkuat integritas pejabat daerah ke depan. Korupsi yang melibatkan pejabat publik menimbulkan kerugian besar, tidak hanya pada keuangan negara tetapi juga pada kepercayaan masyarakat. Kasus ini menegaskan bahwa meski berada di posisi tertinggi di daerah, eks wali kota Semarang tidak kebal terhadap hukum.