ronald tannur, suap hakim, ibu gregorius ronald tannur, pengacara ronald tannur

Ibu Ronald Tannur Divonis 3 Tahun dalam Kasus Suap Hakim Surabaya

Meirizka Widjaja, ibu dari Gregorius Ronald Tannur, resmi divonis 3 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. Ia terbukti bersalah dalam kasus suap hakim yang ditujukan untuk mempengaruhi hasil sidang anaknya, Ronald Tannur, dalam kasus kekerasan terhadap mendiang Dini Sera.

Selain vonis penjara, Meirizka juga dijatuhi denda Rp500 juta, dengan ketentuan tambahan 6 bulan kurungan jika tidak dibayar. Putusan ini mencerminkan keseriusan lembaga peradilan dalam menindak setiap upaya intervensi terhadap independensi hakim.

Latar Belakang Kasus

Kasus ini bermula dari proses hukum yang dijalani Ronald Tannur, tersangka dalam perkara kekerasan yang menewaskan pacarnya, Dini Sera, di kawasan Surabaya pada tahun 2023. Dalam proses peradilan yang ramai disorot publik, Ronald sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya.

Namun di balik putusan itu, Komisi Yudisial menemukan adanya indikasi praktik suap terhadap majelis hakim. Nama ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, kemudian disebut sebagai pihak yang memberikan sejumlah uang kepada tiga hakim yang menangani kasus tersebut.

Kronologi Penyuapan

Berdasarkan fakta persidangan, Meirizka diketahui berkoordinasi dengan pengacara Ronald Tannur, yakni Lisa Rachmat, untuk menyampaikan uang kepada hakim. Tiga orang hakim di PN Surabaya diduga menerima imbalan guna memutus vonis bebas terhadap Ronald.

Jaksa menyebut Meirizka menyuap hakim dengan nominal ratusan juta rupiah. Uang tersebut disalurkan dalam bentuk tunai maupun melalui perantara dalam sistem tertutup.

Proses Persidangan dan Putusan

Majelis Hakim Tipikor menyatakan Meirizka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a juncto Pasal 55 KUHP. Dalam amar putusannya, hakim menyampaikan bahwa terdakwa telah mengganggu independensi peradilan dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Meski jaksa menuntut hukuman 4 tahun, hakim menjatuhkan hukuman 3 tahun dengan pertimbangan bahwa Meirizka bersikap kooperatif selama proses hukum dan memiliki tanggungan keluarga.

Namun, denda Rp500 juta tetap dijatuhkan untuk menegaskan aspek pidana ekonomis dalam kasus suap.

Peran Lisa Rachmat, Pengacara Ronald Tannur

Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, juga menjadi tersangka utama dalam kasus ini. Ia bahkan sudah lebih dulu divonis 11 tahun penjara karena terbukti sebagai penghubung langsung antara pihak keluarga Ronald dan para hakim yang disuap.

Dalam kesaksiannya, Lisa mengaku hanya menjalankan permintaan dari Meirizka dan tidak mengetahui konsekuensi hukum dari tindakannya. Namun hakim menolak pembelaan tersebut dan menyatakan Lisa bertindak aktif dalam pengkondisian perkara.

Dampak dan Reaksi Publik

Kasus suap ini memantik kemarahan publik. Tagar #KeadilanUntukDini sempat trending di berbagai platform sosial media. Banyak masyarakat menilai bahwa tindakan Meirizka dan Lisa telah mencoreng sistem peradilan serta mengingkari rasa keadilan korban.

“Kalau keluarga terdakwa bisa menyuap hakim, lalu apa gunanya hukum bagi rakyat biasa?” tulis salah satu komentar warganet di X (dulu Twitter).

Aktivis hukum juga mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kasus ini sampai ke akar, termasuk memeriksa semua hakim yang terlibat.

Komentar Pakar dan Evaluasi Sistemik

Pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, Dr. Budi Santosa, mengatakan bahwa kasus Meirizka adalah “puncak gunung es” dari praktik mafia peradilan. Ia menilai perlu ada reformasi menyeluruh dalam sistem kontrol internal terhadap hakim dan pengacara.

“Ketika ibu terdakwa bisa menyuap hakim, berarti sistem pengawasan internal dan kode etik benar-benar tidak berjalan,” ujarnya.


Dengan putusan terhadap ibu Gregorius Ronald Tannur, pengadilan menunjukkan sinyal bahwa siapapun yang mencoba membengkokkan hukum akan tetap ditindak. Meski sebagian kalangan menilai vonis terlalu ringan, setidaknya ini menjadi langkah awal untuk menata kembali integritas lembaga peradilan.

Kasus ini juga membuka ruang diskusi baru tentang perlunya pengawasan ketat terhadap intervensi keluarga terdakwa, serta reformasi peran pengacara dalam menjaga integritas hukum.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *