Silfester belum ditahan meski telah divonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Putusan tersebut bahkan telah berkekuatan hukum tetap, namun eksekusi belum dilaksanakan. Publik pun mempertanyakan mengapa terpidana belum juga menjalani hukuman.
Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan resmi mengenai alasan Silfester belum ditahan hingga kini. Pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan disebut masih menunggu salinan resmi putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai dasar eksekusi. Tanpa dokumen tersebut, penahanan tidak dapat dilakukan sesuai prosedur hukum.
Hambatan Administrasi dalam Eksekusi
Menurut Kejagung, prosedur eksekusi vonis pidana mengharuskan adanya salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara Silfester belum ditahan, salinan dari MA belum sampai ke Kejari Jakarta Selatan. Hal ini menjadi penghambat utama pelaksanaan eksekusi meski vonis sudah inkrah.
Mantan Kapuspenkum Kejagung, Jasman Panjaitan, menilai keterlambatan ini seharusnya dapat diantisipasi. Ia menyarankan agar Kejari mengambil inisiatif menjemput salinan putusan langsung ke MA untuk mempercepat proses hukum. Menurutnya, permintaan maaf dari pihak terpidana tidak menghapus kewajiban menjalani hukuman.
Kondisi ini, jika terus berlarut, berpotensi menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Publik dapat menilai ada perlakuan istimewa terhadap terpidana tertentu. Oleh karena itu, percepatan eksekusi menjadi penting untuk menjaga kepercayaan terhadap sistem hukum.
Kasus Silfester belum ditahan telah menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai, lambatnya eksekusi dapat melemahkan citra penegakan hukum. Penundaan ini juga berpotensi menciptakan preseden buruk, di mana terpidana bisa terhindar dari penahanan karena kendala administratif.
Kejagung diharapkan bersikap proaktif dengan memastikan koordinasi antara Kejari Jakarta Selatan dan MA berjalan lancar. Publik menginginkan transparansi mengenai perkembangan proses penerimaan salinan putusan, serta kepastian kapan eksekusi akan dilaksanakan.
Pengamat hukum menekankan bahwa asas persamaan di hadapan hukum harus berlaku tanpa pengecualian. Semua pihak yang telah divonis bersalah wajib menjalani hukuman, tanpa memandang jabatan, latar belakang, atau pengaruh politik.
Baca juga : Putri Surya Darmadi Masuk DPO Kasus Pencucian Uang
Kejelasan proses ini akan menjadi ujian bagi integritas aparat penegak hukum. Jika berhasil dilaksanakan sesuai aturan, kepercayaan publik terhadap Kejaksaan dan lembaga peradilan akan meningkat. Sebaliknya, jika terus tertunda, kasus ini bisa memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.
Dengan sorotan publik yang terus menguat, langkah tegas dan transparan menjadi kebutuhan mendesak. Kasus Silfester belum ditahan diharapkan segera menemui titik akhir dengan eksekusi vonis yang adil dan sesuai prosedur, demi tegaknya supremasi hukum di tanah air.