Written by 6:58 pm HotgetNews Views: 10

Kontroversi Diksi Aktivis DFK di Polemik Kyai–Pesantren

Kontroversi Diksi Gustiajudewi di Polemik Kyai–Pesantren

Unggahan akun aktivis digital gustiajudewi memantik perdebatan baru di tengah panasnya polemik Trans7 dan komunitas pesantren. Dalam unggahan ulang sebuah pernyataan tokoh agama, frasa yang di rekaman lengkap berbunyi “sebagian kyai” tampil menjadi “para kyai”. Peralihan satu kata itu mengubah makna dari kritik terbatas menjadi generalisasi ke seluruh kyai—mendorong pembacaan yang lebih keras, komentar berantai di media sosial, dan kekhawatiran akan stigmatisasi. Artikel ini menyorot tindakan pengubahan diksi, bukan menyerang personal, dengan tujuan edukasi literasi: mengapa satu kata dapat berdampak besar pada kualitas wacana publik.

Kronologi singkat. Potongan video/teks beredar bersamaan dengan narasi yang menegaskan “para kyai” sebagai objek kritik. Setelah dibandingkan dengan rekaman lengkap, sejumlah warganet menemukan selisih diksi: naskah asli menyebut “sebagian kyai”. Selisih ini penting secara linguistik. Kata “sebagian” menandai kuantitas terbatas dan mencegah generalisasi. Ketika diganti menjadi “para”, pagar makna runtuh; audiens yang tidak menonton sumber primer cenderung menganggap pernyataan itu menyapu bersih seluruh kyai. Dalam praktik komunikasi publik, perubahan semacam ini masuk kategori misrepresentation karena memindahkan posisi pembicara dari kritik parsial ke tuduhan total.

Dampak pada polemik Trans7–pesantren. Isu ini telah sensitif: ada klarifikasi, evaluasi editorial, dan dialog yang sedang ditempuh. Pada lanskap setegang itu, ketepatan diksi menjadi prasyarat. Generalisasi terhadap kyai—kelompok yang sangat beragam—berisiko memicu kemarahan komunal, menutup ruang dialog, dan mengaburkan substansi evaluasi media. Ketika unggahan dengan diksi “para kyai” viral, tokoh dan lembaga yang tidak terkait ikut terseret, sementara pesan inti di sumber primer terdistorsi. Karena itu, setiap pihak—aktivis, kreator konten, maupun media—perlu disiplin menjaga kata, terutama ketika menyangkut figur keagamaan dan lembaga pendidikan.

Standar verifikasi yang semestinya. Ada tiga langkah minimum sebelum mengunggah materi sensitif: (1) rujuk sumber primer (video penuh, transkrip, waktu/tautan); (2) jaga diksi kuantitatif—“sebagian”, “beberapa”, “banyak”—tidak boleh ditukar; (3) pisahkan opini dan fakta secara jelas di caption. Jika terjadi kekeliruan, praktik terbaik adalah koreksi terbuka: cabut unggahan, unggah ulang versi benar, dan jelaskan letak kesalahan. Tindakan koreksi justru memperkuat kepercayaan publik terhadap aktivisme anti-disinformasi.

Baca juga : Permintaan Maaf Trans7 dan Perbaikan Proses Siaran

Hak jawab dan jalan keluar. Redaksi merekomendasikan memberi ruang hak jawab kepada gustiajudewi untuk menjelaskan kronologi: apakah perubahan diksi terjadi karena salah dengar, salah ketik, atau keputusan penyuntingan; serta langkah koreksi yang ditempuh. Ke depan, dialog lintas pihak—redaksi, perwakilan pesantren, pegiat literasi—perlu menyepakati pedoman kutipan sensitif, termasuk contoh diksi yang wajib dipertahankan apa adanya. Intinya sederhana: jika kritik ditujukan pada sebagian kyai, tulislah “sebagian kyai”. Ketelitian sekecil itu menjaga keadilan representasi, menenangkan suasana, dan mengarahkan energi publik ke verifikasi fakta—bukan ke amarah yang dipicu oleh selisih satu kata.

Close