Kontroversi Tunai RotiO mencuat setelah video seorang lansia disebut ditolak membayar tunai di salah satu gerai Roti’O dan diminta memakai pembayaran nontunai. Rekaman itu memantik perdebatan tentang akses pembayaran digital, terutama bagi kelompok yang belum terbiasa dengan QR dalam keseharian mereka. Di media sosial, warganet menyorot apakah gerai ritel boleh membatasi metode pembayaran secara sepihak oleh gerai.
Dalam video yang beredar, seorang pria tampak memprotes kebijakan tersebut dan meminta transaksi tetap dilayani. Narasi yang menyertai unggahan menilai kebijakan nontunai membuat lansia terpinggirkan, meski tujuan awalnya disebut untuk kemudahan. Peristiwa ini lalu bergulir menjadi diskusi lebih luas soal etika layanan pelanggan dan literasi keuangan digital.
Manajemen Roti’O kemudian menyampaikan permintaan maaf dan mengatakan akan mengevaluasi prosedur pelayanan di lapangan. Perusahaan menegaskan mereka ingin memberi pengalaman belanja yang praktis, namun tetap menghormati kenyamanan pelanggan. Evaluasi itu disebut mencakup arahan ulang kepada pegawai agar kejadian serupa tidak terulang dalam konteks Kontroversi Tunai RotiO.
Kronologi Viral dan Klarifikasi dari Roti’O
Kronologi bermula dari unggahan video di media sosial yang memperlihatkan situasi transaksi di konter, ketika uang tunai tidak diterima dan pelanggan diminta beralih ke metode digital. Dalam beberapa jam, potongan video tersebut menyebar dan memunculkan ragam versi cerita, mulai dari alasan promosi hingga klaim bahwa sistem kasir hanya menerima QR. Di tengah arus informasi itu, Kontroversi Tunai RotiO berkembang karena publik menilai ada jarak antara aturan gerai dan kebutuhan pelanggan di lapangan dan cepat membentuk opini publik.
Roti’O kemudian menyampaikan penjelasan bahwa skema nontunai diterapkan untuk mendukung kemudahan transaksi dan program promo tertentu, bukan untuk menolak uang tunai secara prinsip. Perusahaan menyebut akan melakukan evaluasi internal, termasuk memastikan komunikasi di kasir lebih jelas, serta memperjelas informasi di etalase dan media sosial resmi agar konsisten antarshift pegawai. Dalam banyak kasus ritel, masalah semacam ini muncul karena pegawai menerjemahkan aturan secara kaku tanpa menawarkan opsi yang lebih ramah.
Pengamat layanan pelanggan menilai insiden viral sering membesar karena ada unsur emosi dan ketimpangan kuasa antara pelanggan dan petugas konter. Karena itu, yang paling dicari publik adalah langkah korektif yang nyata, bukan sekadar klarifikasi di media sosial. Jika SOP diperbaiki, Kontroversi Tunai RotiO dapat menjadi momentum memperkuat standar layanan yang inklusif bagi semua usia.
Bank Indonesia mengingatkan bahwa rupiah adalah alat pembayaran yang sah dan pada prinsipnya tidak boleh ditolak untuk transaksi, kecuali ada keraguan atas keasliannya. Prinsip ini sering dijadikan rujukan ketika muncul kebijakan yang membatasi pembayaran tunai, terutama pada layanan publik dan ritel yang melayani semua kalangan. Dalam kasus ini, respons regulator membuat isu kembali ke pertanyaan dasar, yaitu bagaimana pelaku usaha menyeimbangkan efisiensi dengan hak konsumen.
Baca juga : PDIP Minta Maaf atas Aksi Dua Anggota DPR
Di sisi bisnis, pembayaran digital memang memberi keuntungan seperti rekam transaksi yang rapi, proses lebih cepat, dan dukungan promosi berbasis aplikasi. Namun, perubahan perilaku tidak bisa dipaksakan dalam satu waktu, apalagi ketika pelanggan adalah lansia atau tidak memiliki akses perangkat dan jaringan yang memadai bagi pelanggan di berbagai daerah secara nyata. Karena itu, pendekatan paling aman adalah menyediakan alternatif yang jelas, termasuk bantuan petugas untuk memilih metode pembayaran yang tersedia.
Untuk mencegah kejadian serupa, perusahaan bisa menata komunikasi di konter melalui penjelasan lisan yang sopan, pelatihan pegawai menghadapi pelanggan rentan, dan kebijakan fallback saat sistem digital bermasalah. Di tingkat gerai, penerimaan tunai dan nontunai yang berjalan berdampingan juga membantu mengurangi antrean dan konflik di jam sibuk. Pada akhirnya, Kontroversi Tunai RotiO memberi pelajaran bahwa transformasi digital harus tetap ramah, bertahap, dan tidak mengorbankan martabat pelanggan.


