Kontroversi Video Gus Elham mencuat setelah rekaman dirinya mencium anak-anak perempuan di atas panggung pengajian menyebar luas di media sosial. Dalam video tersebut, pendakwah muda asal Kediri itu tampak mengajak beberapa anak naik ke panggung sebelum kemudian memeluk dan mencium mereka di hadapan jamaah. Banyak warganet menilai tindakan tersebut tidak pantas dilakukan tokoh publik, terlebih figur agama yang menjadi panutan umat. Perdebatan pun mengemuka, mulai dari soal batasan kasih sayang terhadap anak hingga dugaan pelanggaran etika dan norma perlindungan anak di ruang publik.
Berbagai komentar bermunculan, dari yang sekadar mengkritik cara berinteraksi hingga yang meminta aparat dan lembaga perlindungan anak turun tangan. Di tengah tekanan itu, Gus Elham akhirnya menyampaikan permohonan maaf terbuka dan mengakui bahwa tindakannya menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan anak-anak pada kegiatan dakwah berikutnya. Meski demikian, polemik tidak langsung mereda karena publik menilai kasus ini menyentuh isu yang lebih luas, yaitu bagaimana tokoh agama seharusnya menjadi teladan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak. Satu kali penyebutan Kontroversi Video Gus Elham di bagian ini menegaskan konteks utama pemberitaan.
Jejak Video dan Respons Cepat Pemerintah serta Tokoh Agama
Video yang memicu Kontroversi Video Gus Elham pertama kali menyebar melalui platform berbagi konten pendek dan segera menjadi viral. Dalam hitungan jam, potongan rekaman itu dikutip ulang oleh berbagai akun dan portal, memicu diskusi mengenai batasan perilaku tokoh agama di hadapan jamaah. Sebagian pembela menyebut tindakan itu sebagai ekspresi kasih sayang spontan, namun kelompok lain menilai cara tersebut tetap tidak layak, terutama karena dilakukan di panggung, direkam, dan beredar tanpa kendali. Perdebatan ini membuat banyak pihak mengingatkan pentingnya prinsip kehati-hatian ketika anak-anak dilibatkan dalam kegiatan keagamaan.
Kementerian Agama, pejabat publik, dan sejumlah tokoh ormas kemudian ikut angkat bicara menanggapi Kontroversi Video Gus Elham. Mereka menegaskan bahwa ulama, kiai, dan pendakwah memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga martabat anak, baik secara fisik maupun psikologis. Kementerian Agama mendorong seluruh lembaga pendidikan Islam, pesantren, dan majelis taklim untuk memperkuat pedoman interaksi yang ramah anak. Di saat yang sama, aparat penegak hukum diminta mencermati laporan dan aduan masyarakat tanpa mengabaikan prinsip praduga tak bersalah. Sikap tegas namun proporsional inilah yang diharapkan dapat meredam gejolak sekaligus memberi pesan jelas bahwa perlindungan anak tidak boleh dinegosiasikan.
Baca juga : Sikap PBNU terhadap Gus Elham Disorot Rais Aam PBNU
Lembaga perlindungan anak nasional menilai kasus ini sebagai momentum penting untuk meninjau ulang standar keamanan anak di ruang publik keagamaan. Mereka menyoroti bagaimana Kontroversi Video Gus Elham menunjukkan kerentanan anak ketika berada di ruang yang hierarkis, di mana tokoh publik memiliki pengaruh besar dan jarang dikritik secara langsung. KPAI dan lembaga sejenis mengingatkan bahwa setiap bentuk kontak fisik terhadap anak di depan umum perlu mempertimbangkan aspek persetujuan, kenyamanan, serta dampak jangka panjang terhadap rasa aman anak. Pendekatan ini menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap aktivitas.
Ke depan, berbagai pihak mendorong penyusunan pedoman tertulis yang lebih rinci terkait interaksi tokoh agama dengan anak, termasuk di pengajian, acara tabligh akbar, hingga kegiatan pondok pesantren. Kontroversi Video Gus Elham diharapkan menjadi pelajaran agar panitia acara menyediakan prosedur yang jelas, mulai dari pendampingan orang tua, area khusus anak, hingga larangan tindakan fisik yang berpotensi menimbulkan tafsir negatif. Dengan demikian, ruang dakwah tetap hangat dan humanis, tetapi tidak mengabaikan hak anak untuk merasa aman dan terlindungi. Penguatan edukasi bagi jamaah dan tokoh agama menjadi kunci agar kasus serupa tidak kembali terulang dan kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan tetap terjaga.


