Dua lembaga strategis penegak hukum dan intelijen keuangan, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sama-sama mengajukan permintaan kenaikan anggaran yang cukup signifikan untuk tahun 2026. KPK mengusulkan anggaran senilai Rp1,34 triliun, sedangkan PPATK meminta tambahan Rp1,19 triliun. Usulan ini muncul di tengah komitmen pemerintah untuk memperkuat pemberantasan korupsi dan memodernisasi sistem intelijen keuangan guna menghadapi tantangan kejahatan keuangan yang makin kompleks.
Rincian Usulan KPK dan PPATK
KPK, dalam rapat bersama Komisi III DPR, menyampaikan bahwa tambahan anggaran sebesar Rp1,34 triliun diusulkan di atas pagu indikatif sebelumnya yang hanya Rp878,04 miliar. Peningkatan ini, menurut KPK, diperlukan untuk memperkuat berbagai program prioritas, seperti peningkatan kapasitas penyelidikan, penguatan teknologi informasi, pendidikan antikorupsi, serta pengembangan program pencegahan korupsi berbasis digital. KPK juga menekankan pentingnya pendanaan yang memadai untuk mendukung integritas internal lembaga, termasuk peningkatan kesejahteraan pegawai yang menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan kasus korupsi.
Sementara itu, PPATK mengajukan kenaikan anggaran menjadi Rp1,19 triliun, jauh melebihi pagu awal sebesar Rp199 miliar. Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana, menjelaskan bahwa lonjakan anggaran ini terutama dialokasikan untuk modernisasi infrastruktur teknologi, pemenuhan standar internasional Financial Action Task Force (FATF), serta memperkuat analisis transaksi keuangan yang terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme. Salah satu fokus besar adalah persiapan Mutual Evaluation Review (MER) 2029, di mana Indonesia akan dinilai ulang oleh FATF atas komitmen dan efektivitas sistem pencegahan TPPU. Ivan menegaskan, tanpa dukungan anggaran memadai, Indonesia berisiko mendapat penilaian rendah yang bisa berdampak negatif pada kepercayaan investor asing dan stabilitas ekonomi nasional.
Data PPATK menyebutkan bahwa dari usulan Rp1,19 triliun, sebagian besar akan digunakan untuk pembaruan sistem digital dengan nilai mencapai Rp682,23 miliar. Selebihnya digunakan untuk program peningkatan kompetensi pelapor, penelusuran aset hasil tindak kejahatan, serta harmonisasi regulasi lintas lembaga penegak hukum. PPATK menilai, di era digital saat ini, kejahatan keuangan semakin canggih sehingga perlu dukungan teknologi yang mutakhir agar bisa terdeteksi sejak dini.
Tantangan dan Potensi Dampak
Usulan anggaran yang cukup besar ini menimbulkan berbagai reaksi, baik di kalangan DPR maupun pengamat kebijakan publik. Sebagian anggota Komisi III DPR mengakui perlunya peningkatan anggaran agar KPK dan PPATK dapat bekerja lebih optimal, mengingat kompleksitas kasus korupsi dan pencucian uang yang terus berkembang. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan efektivitas serapan anggaran kedua lembaga dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu sorotan datang dari data laporan keuangan PPATK yang menunjukkan adanya sisa anggaran cukup besar pada 2025, yaitu sekitar Rp208,1 miliar. Hal ini membuat beberapa anggota dewan meminta penjelasan lebih detail mengenai rencana penggunaan anggaran tambahan agar tidak hanya menjadi angka di atas kertas. DPR juga meminta kedua lembaga menyiapkan rencana kerja yang lebih terukur, dengan indikator kinerja yang jelas agar setiap rupiah anggaran benar-benar berdampak nyata dalam pemberantasan korupsi maupun kejahatan keuangan.
Baca Juga : Ibu Ronald Tannur Divonis 3 Tahun dalam Kasus Suap Hakim Surabaya
Selain itu, pengamat kebijakan publik menilai kenaikan anggaran ini perlu disertai pengawasan ketat, baik dari internal lembaga maupun masyarakat. Transparansi penggunaan dana publik menjadi kunci, mengingat dana yang diusulkan bersumber dari APBN yang berasal dari pajak rakyat. Jika tidak dikelola dengan baik, risiko pemborosan anggaran atau tumpang tindih program bisa saja terjadi, meskipun tujuan awalnya untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan.
Meski demikian, banyak pihak sepakat bahwa tanpa dukungan anggaran memadai, baik KPK maupun PPATK akan sulit beradaptasi dengan tantangan kejahatan modern. Teknologi deepfake, pencucian uang berbasis aset digital seperti cryptocurrency, serta skema pendanaan terorisme lintas negara menuntut kemampuan analisis dan deteksi yang jauh lebih canggih dibanding beberapa tahun lalu. Apalagi Indonesia tengah gencar menarik investasi asing, sehingga integritas sistem keuangan nasional menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan investor.
Permintaan kenaikan anggaran oleh KPK dan PPATK menjadi salah satu isu penting dalam pembahasan RAPBN 2026. KPK berharap tambahan Rp1,34 triliun bisa mengoptimalkan kinerja pencegahan dan penindakan korupsi, sementara PPATK memproyeksikan kebutuhan Rp1,19 triliun demi modernisasi sistem digital dan persiapan menghadapi penilaian internasional. Persetujuan DPR atas usulan ini akan sangat menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan di Indonesia ke depan.
Meskipun ada tantangan soal efektivitas serapan dan pengawasan anggaran, kedua lembaga tetap berpegang pada tujuan utama: memastikan Indonesia memiliki sistem hukum dan keuangan yang bersih, transparan, serta terpercaya. Masyarakat kini menantikan apakah DPR akan mengabulkan seluruh usulan, sebagian, atau justru melakukan rasionalisasi anggaran. Apapun keputusannya, satu hal jelas: pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan tidak boleh berhenti hanya karena persoalan anggaran.