Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menghadapi permintaan yang tidak lazim dari sejumlah advokat untuk membatalkan putusannya sendiri terkait pemisahan pemilu nasional dan pilkada. Langkah tersebut diajukan oleh empat advokat yang menilai Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyimpang dari amanat konstitusi.
Keempat advokat tersebut adalah Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, Yuseva, dan Rio Adhitya. Mereka mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada melalui perkara bernomor 126/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, mereka meminta MK mencabut putusan yang sebelumnya telah diberlakukan dan berimbas pada jadwal pemilu di Indonesia.
Putusan MK yang dimaksud memutuskan adanya pemisahan jadwal pemilu nasional dan pilkada dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun. Menurut para pemohon, keputusan ini berpotensi memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD secara non-demokratis karena tidak melalui pemilihan umum yang langsung dan periodik.
Gugatan Diajukan karena Dinilai Tidak Konstitusional
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Jumat (1/8/2025), para pemohon memaparkan bahwa Putusan Nomor 135 melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun. Dengan adanya pemisahan dan penyesuaian jadwal pilkada, mereka menilai bahwa MK telah melakukan legislasi yudisial yang seharusnya menjadi wewenang DPR.
Salah satu hakim MK, Saldi Isra, memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan, terutama dalam struktur dan argumentasi hukum. Dalam persidangan tersebut, hakim juga mempertanyakan dasar hukum dan preseden yang dapat membenarkan MK membatalkan putusannya sendiri.
Permintaan ini dinilai langka karena MK pada prinsipnya tidak mengenal mekanisme peninjauan kembali seperti di peradilan umum. Namun, para pemohon berpendapat bahwa kondisi ini adalah “extraordinary” dan demi menjaga asas keadilan serta ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Sejumlah pakar hukum tata negara ikut menyoroti perkembangan ini. Abdul Chair Ramadhan dari Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) menyebut bahwa MK telah melampaui batas kewenangannya dengan mengatur hal-hal yang bersifat kebijakan terbuka.
Menurutnya, putusan tersebut berpotensi menciptakan kekacauan dalam siklus demokrasi nasional. Ia menilai bahwa keputusan seperti itu seharusnya diambil melalui proses legislasi di DPR dan bukan lewat interpretasi putusan pengadilan.
Baca juga : Distribusi Bantuan Pangan KJP Rawan Calo, PKS Soroti
Dampak dari pemisahan jadwal pemilu dan pilkada ini bukan hanya administratif, tetapi juga menyangkut legitimasi politik. Bila kepala daerah menjabat lebih lama tanpa mandat baru dari pemilih, hal ini dapat memicu krisis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Sidang lanjutan akan digelar setelah batas waktu revisi permohonan terpenuhi. MK akan memutuskan apakah permintaan membatalkan putusan ini bisa diterima secara hukum atau tidak. Keputusan ini berpotensi menjadi preseden penting dalam praktik konstitusional di Indonesia.