Polemik tunjangan rumah DPR kembali mencuat usai pernyataan anggota Komisi XI DPR Fraksi Gerindra, Mukhamad Misbakhun. Ia menilai tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan yang diterima anggota dewan bukanlah hal berlebihan. Menurutnya, banyak anggota DPR yang berasal dari luar daerah sehingga membutuhkan akomodasi layak untuk menunjang kinerja.
Isu tunjangan selalu memantik reaksi masyarakat. Publik menilai jumlah Rp50 juta per bulan terbilang sangat besar, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan. Namun, bagi para anggota dewan, fasilitas ini dianggap bagian dari kebutuhan kerja, bukan kemewahan. Misbakhun menjelaskan, tanpa tunjangan rumah DPR, banyak legislator akan kesulitan memenuhi kebutuhan hunian representatif di Jakarta.
Meskipun begitu, transparansi dan keadilan penggunaan anggaran negara tetap menjadi sorotan. Kritik bermunculan agar tunjangan rumah DPR tidak menjadi beban berlebih bagi keuangan negara, terutama bila dibandingkan dengan kondisi rakyat yang masih menghadapi masalah kesejahteraan.
Alasan Legislator Soal Tunjangan
Misbakhun menegaskan, tunjangan rumah DPR dibutuhkan untuk menjaga citra dan efektivitas kerja anggota parlemen. Banyak legislator yang harus menerima tamu, melakukan rapat informal, hingga berdiskusi terkait kebijakan di rumah dinas atau hunian pribadi. Menurutnya, rumah yang representatif menjadi bagian dari profesionalitas jabatan publik.
Selain itu, biaya hidup di Jakarta relatif lebih tinggi dibanding daerah asal para anggota dewan. Hal inilah yang kerap dijadikan alasan bahwa tunjangan rumah DPR perlu mendapat porsi anggaran signifikan. Tanpa tunjangan, akan sulit bagi legislator untuk memperoleh hunian yang sesuai standar di ibu kota.
Namun, sebagian kalangan menilai penjelasan tersebut belum cukup. Publik meminta DPR agar lebih transparan dalam menentukan besaran tunjangan, termasuk mekanisme evaluasi dan pengawasan penggunaannya. Beberapa pakar politik juga menilai perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan pejabat negara dan kondisi keuangan negara yang harus berpihak pada kepentingan rakyat.
Polemik tunjangan rumah DPR sebenarnya bukan isu baru. Setiap kali pembahasan anggaran muncul, tunjangan selalu menjadi perdebatan antara kebutuhan pejabat negara dan persepsi publik tentang gaya hidup elite politik. Tantangan terbesar bagi DPR adalah bagaimana menjaga kepercayaan masyarakat di tengah kebijakan yang rawan dipandang elitis.
Baca juga : Legislator Gerindra Bangga QRIS di Jepang Berlaku di Osaka Expo
Tuntutan publik sangat jelas: setiap rupiah yang digunakan dari anggaran negara harus dapat dipertanggungjawabkan. DPR harus memastikan tunjangan rumah DPR benar-benar mendukung kinerja, bukan sekadar fasilitas mewah. Mekanisme pengawasan yang transparan dan laporan berkala bisa menjadi langkah penting untuk meredam kritik.
Jika DPR gagal menjawab keresahan publik, polemik tunjangan bisa terus menjadi isu yang merusak citra lembaga legislatif. Sebaliknya, bila mampu membuktikan bahwa tunjangan rumah DPR berdampak positif pada efektivitas kerja dan pelayanan masyarakat, maka kepercayaan publik berpeluang tumbuh kembali.