Pembentukan Reformasi Polri Yusril Jimly sebagai bagian dari tim reformasi kepolisian menjadi perhatian besar publik setelah diumumkan pemerintah. Nama Yusril Ihza Mahendra bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dipastikan akan memperkuat tim yang diprakarsai Presiden Prabowo. Kehadiran dua tokoh hukum senior ini dianggap memberi bobot signifikan bagi kredibilitas tim yang ditugasi mengawal agenda pembenahan institusi kepolisian.
Publik memandang keikutsertaan mereka sebagai sinyal keseriusan pemerintah dalam menata kembali mekanisme dan struktur kepolisian. Namun, tantangan besar juga menanti, terutama dalam memastikan independensi kerja tim dan menghindari benturan kewenangan dengan struktur internal Polri. Keberhasilan tim tidak hanya bergantung pada reputasi tokoh yang bergabung, melainkan pada seberapa jelas mandat, arah kerja, serta implementasi nyata yang dihasilkan dalam periode penugasan mereka.
Skema Kerja dan Harapan Awal
Tim Reformasi Polri Yusril Jimly dirancang untuk melakukan kajian menyeluruh atas regulasi, kewenangan, serta sistem pengawasan internal kepolisian. Fokus utamanya meliputi evaluasi Undang-Undang Kepolisian, penguatan mekanisme pengaduan masyarakat, serta strategi mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Kehadiran tokoh hukum senior diharapkan memperkuat kapasitas analisis dan kualitas rekomendasi yang akan diberikan.
Selain itu, pembentukan tim ini dipandang sebagai peluang besar untuk memperbaiki citra Polri di mata publik. Transparansi kerja, partisipasi masyarakat sipil, dan komunikasi rutin menjadi prasyarat utama agar kepercayaan publik meningkat. Dengan pengawasan independen dan pelaporan berkala, tim ini bisa mengubah persepsi masyarakat bahwa reformasi bukan sekadar jargon politik, melainkan program nyata dengan indikator keberhasilan yang jelas. Jika hal tersebut dapat dicapai, maka tim reformasi berpotensi menjadi tonggak penting dalam mendorong institusi kepolisian lebih akuntabel, profesional, dan berorientasi pelayanan publik.
Meski membawa harapan, Reformasi Polri Yusril Jimly menghadapi tantangan besar. Pertama, koordinasi dengan struktur internal Polri harus jelas agar tidak menimbulkan tumpang tindih. Kedua, resistensi dari sebagian aparat yang merasa terganggu dengan agenda perubahan bisa menghambat laju kerja tim. Ketiga, keterbatasan waktu sering kali membuat rekomendasi reformasi hanya bersifat normatif tanpa tindak lanjut konkret.
Baca juga : Respons Yusril soal TNI: Arah Kasus Ferry
Ekspektasi publik yang tinggi juga menjadi ujian tersendiri. Masyarakat menuntut hasil nyata, seperti peningkatan transparansi penggunaan anggaran, mekanisme penindakan yang adil, serta perlindungan hak asasi warga. Jika rekomendasi tim hanya berhenti pada laporan tertulis tanpa implementasi, maka legitimasi reformasi bisa dipertanyakan. Oleh karena itu, komitmen politik pemerintah dan kesediaan institusi kepolisian untuk menerima perubahan sangat menentukan.
Pada akhirnya, keberhasilan tim tidak hanya dinilai dari siapa yang duduk di dalamnya, tetapi dari seberapa jauh rekomendasi mereka diimplementasikan. Jika mampu membangun sistem yang lebih terbuka, mengurangi praktik penyalahgunaan wewenang, serta memperkuat akuntabilitas, maka Reformasi Polri Yusril Jimly akan dikenang sebagai tonggak sejarah penting dalam perjalanan penegakan hukum di Indonesia.


