Rojali dan Rohana Bikin Omzet Mal Anjlok di Tengah Krisis

Rojali dan Rohana Bikin Omzet Mal Anjlok di Tengah Krisis

Pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat kemunculan dua fenomena sosial yang kini ramai dibicarakan: rojali dan rohana. Rojali, yang merupakan singkatan dari “rombongan jarang beli”, serta rohana, “rombongan hanya nanya”, menjadi cerminan penurunan daya beli masyarakat di tengah tekanan ekonomi nasional. Tren ini memicu kekhawatiran di kalangan pengelola mal dan para tenant, terutama dari sektor ritel dan kuliner.

Fenomena ini menjadi perbincangan setelah ramai di media sosial dan dikuatkan oleh data serta pengakuan pelaku industri. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengonfirmasi bahwa perilaku pengunjung yang hanya datang beramai-ramai tanpa melakukan pembelian telah menyebabkan penurunan omzet mal secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Daya Beli Menurun, Pengunjung Mal Sekadar Nongkrong

Tren rojali dan rohana sejatinya menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin selektif dalam mengatur pengeluaran. Banyak pengunjung datang ke mal bukan untuk berbelanja, melainkan sekadar mencari hiburan gratis, memanfaatkan fasilitas umum, atau hanya berbincang di tenant kuliner tanpa melakukan pembelian dalam jumlah signifikan. Bahkan beberapa pemilik gerai menyebut bahwa dalam satu grup yang datang, hanya satu orang yang benar-benar melakukan transaksi, sementara sisanya hanya “numpang duduk”.

Kondisi ini bukan hanya memengaruhi penjualan produk non-kebutuhan pokok seperti fashion atau elektronik, tapi juga mulai dirasakan oleh sektor makanan dan minuman. Meski jumlah pengunjung terlihat ramai, tingkat konversi transaksi yang rendah menjadi tantangan tersendiri. Rojali dan rohana menyebabkan adanya ilusi keramaian di mal yang tak sebanding dengan pendapatan riil tenant.

Dampak Langsung ke Pelaku Usaha

Tenant F&B (food and beverages) yang semula diandalkan sebagai pendorong traffic mal pun mulai terkena imbas. Salah satu pengelola gerai kopi menyebutkan bahwa omzet harian mereka menurun hingga 30% dibanding tahun lalu, meski jumlah kunjungan tidak mengalami penurunan drastis. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung cenderung lebih irit, dan hanya memesan produk paling murah atau bahkan tidak membeli sama sekali.

Tak hanya itu, beberapa tenant ritel mengeluhkan tingkat retensi pelanggan yang menurun dan meningkatnya jumlah pengunjung yang hanya “window shopping”. Strategi diskon pun tak banyak membantu, karena pengunjung tetap tidak terdorong untuk bertransaksi dalam jumlah besar.

Baca juga : Padel, Olahraga Modern yang Tumbuh Cepat di Indonesia

Menanggapi fenomena ini, APPBI menyarankan agar pengelola pusat perbelanjaan dan para tenant segera melakukan penyesuaian strategi. Di antaranya adalah dengan menghadirkan program loyalitas yang lebih personal, menciptakan pengalaman belanja yang lebih imersif, serta menggelar event bertema komunitas untuk membangun koneksi emosional antara merek dan pelanggan.

Beberapa mal di kota besar juga mulai mengimplementasikan sistem analitik perilaku pengunjung guna mengidentifikasi perbedaan antara keramaian semu dan potensi pembelian nyata. Data ini digunakan untuk merancang ulang tata letak tenant dan promosi agar lebih tepat sasaran.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *