Surat Pemakzulan Gibran Masuk ke Meja DPR
Situasi politik nasional kembali memanas menyusul masuknya surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke meja DPR. Surat tersebut diajukan oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Forum Purnawirawan TNI, yang menyatakan bahwa Gibran telah melanggar konstitusi dan etika bernegara, terutama terkait proses pencalonannya sebagai wakil presiden.
Dengan surat resmi ini, DPR dihadapkan pada dilema besar: memproses pemakzulan atau menolaknya atas dasar pertimbangan hukum dan politik. Rapat paripurna DPR yang dijadwalkan dalam waktu dekat akan menjadi panggung penentuan arah dari isu ini.
Sikap PKB: Hormati Prosedur, Tidak Langsung Menolak
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui Ketua Fraksi Cucun Ahmad Syamsurijal menyatakan bahwa setiap surat resmi yang masuk ke DPR, termasuk usulan pemakzulan, wajib dibahas secara prosedural. PKB tidak serta-merta menolak, tetapi memilih membuka ruang pembahasan di forum yang tepat.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa PKB mengambil posisi tengah—tidak condong ke oposisi maupun koalisi, melainkan mengikuti tata tertib yang berlaku dalam konstitusi dan peraturan DPR RI.
Sikap Golkar: Tidak Ada Dasar Hukum untuk Pemakzulan
Fraksi Partai Golkar secara tegas menolak pemakzulan Gibran. Mereka beralasan bahwa tidak terdapat indikasi pelanggaran hukum atau konstitusi yang dilakukan oleh Gibran, yang bisa menjadi dasar pemakzulan menurut Pasal 7A UUD 1945.
Golkar juga menilai bahwa surat dari purnawirawan TNI lebih bernuansa politis daripada yuridis. Oleh karena itu, mereka meminta publik tidak menjadikan isu ini sebagai alat untuk mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan baru.
Sikap PDIP: Kritik Tajam, Tapi Dukung Jalur Konstitusional
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersikap kritis, namun tidak menutup kemungkinan memproses surat pemakzulan lewat mekanisme resmi. Wakil Ketua Komisi I DPR dari PDIP, Andreas Hugo Pareira, menyebut bahwa surat tersebut adalah bentuk “perhatian dari masyarakat”, dan harus dihormati.
Namun Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, mengingatkan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada dukungan minimal dua pertiga anggota DPR, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Gibran terbukti melanggar hukum atau melakukan kejahatan berat.
“Kami tidak bisa asal-asalan. Proses konstitusional harus dilalui dengan ketat,” tegasnya.
Fraksi-Fraksi Lain: Ada yang Diam, Ada yang Tunggu Arahan
Selain PKB, PDIP, dan Golkar, beberapa fraksi lain seperti Gerindra, PAN, dan NasDem memilih untuk tidak mengeluarkan sikap resmi. Mereka menyatakan akan menunggu hasil kajian internal partai dan menanti arahan dari pimpinan DPR.
Sementara PKS dan Demokrat berada di posisi yang lebih hati-hati. Meski keduanya dikenal sering bersikap kritis terhadap koalisi pemerintahan, mereka belum mengonfirmasi dukungan terhadap pemakzulan Gibran.
Mekanisme Pemakzulan Menurut Konstitusi
Sesuai Pasal 7A dan 7B UUD 1945, proses pemakzulan terhadap presiden atau wakil presiden mencakup beberapa tahapan:
- DPR menerima dan membahas surat pemakzulan.
- Usulan harus didukung oleh minimum dua pertiga anggota DPR.
- Jika disetujui, usulan diteruskan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
- MK menilai apakah tuduhan terhadap wapres memenuhi unsur pelanggaran hukum berat.
- Jika terbukti, DPR melanjutkan ke Sidang Istimewa MPR untuk pemberhentian.
Artinya, butuh kekuatan politik yang sangat besar untuk meloloskan pemakzulan. Dukungan minimal dua pertiga suara DPR dan hasil putusan MK merupakan dua tahapan kunci yang sangat sulit dipenuhi dalam realitas politik saat ini.
Latar Belakang Surat: Apa Tuduhannya?
Kelompok purnawirawan TNI yang mengajukan surat menilai Gibran telah melanggar etik konstitusi, terutama karena pencalonannya sebagai wakil presiden disebut “beraroma nepotisme”, dan dikaitkan dengan putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi tahun 2023.
Surat tersebut juga menyebutkan bahwa adanya indikasi Gibran “tidak memenuhi syarat moral kepemimpinan nasional”. Meski tuduhan ini bersifat normatif dan tidak berbasis yuridis formal, tetap saja menimbulkan dinamika politik baru di Senayan.
Paripurna DPR: Penentuan Arah Politik
Rapat paripurna DPR yang akan digelar menjadi momen krusial dalam nasib surat pemakzulan Gibran. Ada beberapa kemungkinan skenario:
- Jika mayoritas fraksi menolak, maka surat akan diarsipkan dan tidak berlanjut.
- Jika cukup banyak fraksi netral membuka ruang, dan suara dukungan memadai, maka surat akan diproses secara konstitusional ke MK.
- PKB dan PDIP bisa menjadi kekuatan penentu karena posisi mereka strategis dalam konfigurasi koalisi-oposisi.
Surat pemakzulan Gibran menjadi ujian politik awal bagi parlemen pasca-Pemilu 2024. Sikap fraksi DPR terbelah antara yang mendukung proses hukum terbuka dan yang menolak karena tidak adanya dasar hukum kuat. Proses ini sekaligus menjadi refleksi bagi publik bahwa pemakzulan bukan sekadar wacana, tetapi sebuah proses hukum-politik yang kompleks, panjang, dan penuh pertimbangan strategis.
Apapun hasil dari paripurna nanti, momen ini menunjukkan bahwa DPR tetap menjadi panggung utama dinamika demokrasi Indonesia.