Kasus tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang menjadi korban insiden kendaraan taktis Brimob, berbuntut panjang. Kini, sopir dan Danyon Brimob yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa itu menghadapi ancaman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Kapolri bersama jajaran Propam menegaskan bahwa proses hukum dan etik akan ditegakkan secara transparan agar keadilan bisa terwujud.
Publik menyoroti kasus ini sebagai ujian serius terhadap komitmen Polri dalam menjaga integritas. Insiden yang menelan korban jiwa ini bukan hanya menimbulkan duka, tetapi juga mengundang kemarahan masyarakat luas. Dengan sorotan media yang intens, sopir dan Danyon Brimob berada di bawah pengawasan ketat, baik secara internal maupun eksternal.
Proses Hukum dan Sanksi Etik Polri
Langkah cepat diambil oleh Divisi Propam Mabes Polri. Pemeriksaan intensif dilakukan terhadap sejumlah personel Brimob, termasuk sopir dan Danyon Brimob yang langsung diamankan pasca insiden. Hasil penyelidikan awal mengindikasikan adanya pelanggaran berat, baik dari sisi disiplin maupun kode etik profesi Polri.
Menurut keterangan resmi, keduanya bisa dijatuhi sanksi tegas melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP). Hukuman yang menanti mulai dari demosi, penundaan kenaikan pangkat, hingga ancaman pemecatan tidak dengan hormat. Selain itu, indikasi adanya unsur pidana membuat kasus ini berpotensi berlanjut ke ranah pengadilan. Hal ini menjadi bukti bahwa Polri berusaha memastikan proses hukum tidak berhenti hanya di meja etik.
Pemerintah pun ikut menyoroti perkembangan kasus ini. Tekanan publik agar keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu semakin besar. Bagi banyak pihak, keputusan akhir terhadap sopir dan Danyon Brimob akan menentukan kredibilitas institusi kepolisian di mata masyarakat.
Kasus ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Komunitas ojek online menggelar aksi solidaritas menuntut keadilan bagi korban, sementara aktivis HAM mendesak penyelidikan terbuka yang melibatkan lembaga independen. Media sosial dipenuhi kritik tajam terhadap tindakan represif aparat. Tuntutan utama publik jelas: sopir dan Danyon Brimob harus mendapat hukuman setimpal sesuai hukum yang berlaku.
Dari sisi sosial, insiden ini menambah daftar panjang kasus pelanggaran aparat yang menimbulkan keresahan publik. Jika tidak ditangani serius, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum bisa semakin tergerus. Namun, jika Polri berhasil menunjukkan ketegasan dan transparansi, kasus ini bisa menjadi titik balik penting dalam reformasi internal.
Pada akhirnya, publik menanti apakah proses hukum akan berjalan konsisten. Sikap tegas dan adil terhadap sopir dan Danyon Brimob akan menjadi bukti nyata bahwa Polri tidak menoleransi pelanggaran, sekaligus langkah penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan negara.