erintah Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, mengungkap fakta mengejutkan bahwa sekitar Rp1.500–Rp2.000 triliun investasi gagal terealisasi selama periode 2024–2025. Angka ini mencerminkan bukan hanya potensi ekonomi yang hilang, tetapi juga kegagalan sistemik dalam birokrasi dan layanan perizinan investasi di Indonesia.
Kenapa Investasi Bisa Gagal Terealisasi?
Todotua menjelaskan bahwa sebagian besar kegagalan realisasi investasi bukan karena minimnya minat investor, melainkan akibat buruknya prosedur perizinan. Banyak investor sudah mengajukan izin dan bahkan masuk ke dalam sistem OSS (Online Single Submission), tetapi kemudian batal mengeksekusi proyek karena izin tidak kunjung keluar. Beberapa pelaku usaha bahkan menunggu hingga bertahun-tahun tanpa kejelasan.
Kondisi ini diperparah oleh tumpang tindih regulasi antar kementerian, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan rendahnya akuntabilitas dalam pelayanan publik. Alih-alih menjadi pintu gerbang pertumbuhan ekonomi, proses birokrasi justru menjadi penghambat utama.
Skema “Fiktif Positif”: Solusi atau Sekadar Janji?
Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah berencana memperkenalkan skema fiktif positif. Dalam skema ini, jika permohonan izin tidak diproses dalam jangka waktu tertentu, maka izin dianggap otomatis diberikan. Proses ini akan diverifikasi kemudian melalui post-audit.
Langkah ini memang menjanjikan efisiensi, namun bukan tanpa risiko. “Kita tidak bisa membiarkan investasi tergantung pada izin yang tidak pernah selesai. Harus ada kepastian. Kalau izin tidak selesai dalam tenggat, maka harus dianggap sah, tentu dengan audit pasca-terbit,” kata Todotua.
Skema ini akan diterapkan secara selektif terhadap lebih dari 1.700 jenis perizinan dari 17 kementerian, terutama yang berkaitan dengan kawasan industri dan ekonomi khusus.
Masalah Struktural: Bukan Sekadar Teknis
Permasalahan utama terletak pada struktur birokrasi yang belum berubah meski sudah ada OSS. Alih-alih menyederhanakan, sistem OSS malah menjadi tambahan lapis digital dari birokrasi lama. Banyak kementerian dan lembaga belum sepenuhnya sinkron dengan OSS, menyebabkan investor tetap harus menjalani proses paralel secara manual.
Selain itu, perubahan aturan yang terlalu sering juga menjadi momok. Investor merasa tidak yakin dengan konsistensi kebijakan pemerintah. Misalnya, regulasi mengenai perpajakan atau syarat tenaga kerja bisa berubah sewaktu-waktu tanpa sosialisasi memadai.
Jika angka Rp2.000 triliun benar-benar terealisasi, dampaknya terhadap perekonomian nasional akan sangat besar. Potensi penciptaan jutaan lapangan kerja baru, peningkatan kapasitas produksi industri dalam negeri, hingga dorongan besar terhadap ekspor komoditas hilir akan dirasakan secara langsung.
Sebaliknya, investasi yang gagal terealisasi berarti hilangnya momentum pertumbuhan, stagnasi pembangunan daerah, serta menurunnya daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi global.
Reformasi Perizinan Jadi Kunci
Todotua menegaskan bahwa reformasi sistem perizinan tidak bisa ditunda lagi. “Kalau kita ingin target investasi tercapai, kita harus berani ubah pola pikir dan sistemnya. Jangan biarkan investor lelah sendiri,” tegasnya.
Ia menambahkan, bila reformasi tidak segera dilakukan, maka Indonesia berisiko mengalami de-investasi besar-besaran, di mana calon investor memilih pindah ke negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, atau Filipina yang lebih responsif dan efisien.
Tantangan Implementasi Skema Fiktif Positif
Meski terdengar ideal, skema ini menghadapi tantangan serius dalam pelaksanaan. Beberapa kementerian keberatan karena khawatir akan munculnya izin yang disalahgunakan. Untuk itu, mekanisme post-audit harus dibuat ketat dan transparan. Evaluasi berkala dan penerapan sanksi bagi pelaku yang menyalahgunakan izin mutlak diperlukan.
Todotua juga menyarankan agar seluruh proses OSS diperkuat dengan integrasi data nasional. Ini akan memungkinkan verifikasi otomatis dan mempercepat layanan lintas sektor.
Harapan Terhadap Pemerintah Baru
Dengan Presiden baru akan segera dilantik, para pelaku usaha berharap adanya komitmen politik yang kuat dalam reformasi investasi. Iklim usaha yang transparan, adil, dan cepat menjadi kunci agar kepercayaan investor global terhadap Indonesia tetap terjaga.
Kegagalan merealisasikan Rp2.000 triliun investasi menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam hal tata kelola dan kepastian hukum. Tanpa reformasi konkret, peluang emas bisa berubah menjadi ancaman ekonomi jangka panjang.
Pemerintah harus berpindah dari sekadar retorika menjadi aksi nyata. Percepatan izin, simplifikasi birokrasi, dan konsistensi kebijakan adalah kunci membalikkan tren negatif ini menjadi peluang nyata untuk masa depan Indonesia.