Written by 4:49 pm HotgetLifestyle Views: 1

Validitas Di Atas Pujian, Viral Tidak Otomatis Benar

Validitas Di Atas Pujian, Viral Tidak Otomatis Benar

Wacana publik memanas seiring aksi di berbagai kota yang menghadirkan perdebatan tajam di ruang digital. Banyak klaim berseliweran, sebagian dengan data jelas, sebagian lain tanpa bukti. Inilah alasan mengapa validitas di atas pujian penting dijadikan kompas. Gerak sosial dan advokasi memang berharga, tetapi tidak boleh melahirkan korban baru hanya karena sebuah klaim terlanjur viral.

Perbedaan pandangan antara tokoh publik memperlihatkan dua sisi: ada yang mengedepankan kecepatan untuk menyuarakan, ada pula yang menekankan ketelitian sebelum berbagi. Keduanya sama-sama didorong empati, namun jalan terbaik adalah menyeimbangkan keduanya. Popularitas tidak otomatis sepadan dengan kebenaran. Ketika informasi dibagikan tanpa konteks, risiko kesalahan tafsir makin besar. Dengan menegakkan prinsip validitas di atas pujian, perbincangan publik bisa tegas pada isi, tetapi tetap adil kepada orangnya.

Steelman Empati, Bedah Titik Belok

Dorongan untuk menyebarkan kabar buruk sering berangkat dari niat menyelamatkan. Dalam situasi panas, berbagi cepat dianggap heroik. Perspektif ini tidak sepenuhnya salah—diam sering dinilai sebagai abai. Namun titik belok muncul saat kecepatan mengalahkan ketelitian. Poster, video, atau data yang lepas dari konteks mudah menimbulkan efek kebenaran semu: karena diulang, ia terdengar benar, padahal belum tentu sahih.

Editorial yang berpegang pada validitas di atas pujian menekankan perlunya memeriksa isi klaim, bukan sekadar melihat siapa yang membagikan. Konteks dasar seperti tanggal, lokasi, metode, dan cakupan harus jelas. Tanpa itu, empati bisa berubah menjadi tuduhan yang keliru. Kita perlu membedakan apa yang sudah diketahui, mana yang belum, serta apa yang masih menunggu verifikasi. Dengan begitu, kritik tetap tegas namun tidak menjelma vonis.

Baca juga : TNI dan Ferry, klarifikasi isi komunikasi TNI Ferry

Bahasa menentukan arah percakapan publik: menambah terang atau menambah luka. Hindari diksi vonis saat data belum tuntas. Gunakan penanda kewaspadaan seperti “menurut temuan awal…” atau “indikasi menunjukkan…”. Tiga langkah praktis sebelum membagikan: pertama, sebutkan sumber primer dan waktunya; kedua, jelaskan metode singkat; ketiga, hadirkan pembanding yang relevan agar perspektif seimbang.

Sindiran kecil boleh, misalnya terhadap kebiasaan “mabuk tepuk tangan”, asalkan fokus pada perilaku, bukan menyerang pribadi. Dengan pagar validitas di atas pujian, empati tidak dikorbankan, melainkan dipandu agar tepat sasaran. Lebih baik mengajak satu orang kembali ke rel data daripada membiarkan seribu orang berlari membawa obor yang salah arah. Pada akhirnya, keberanian yang dibutuhkan bukan sekadar untuk paling cepat, tetapi untuk paling akurat.

Close